Santet ialah usaha satu orang untuk mencelakai orang dari jarak jauh dengan memakai pengetahuan hitam. Santet dikerjakan memakai beberapa jenis media diantaranya rambut, photo, boneka, dupa, rupa-rupa kembang, paku dan sebagainya. Satu orang yang terserang santet akan menyebabkan cacat atau wafat. Santet seringkali di kerjakan orang yang memiliki dendam sebab sakit hati pada orang. (Wikipedia)
“Kenapa Bapak pilih jadi tukang santet?”
“Saya bukan tukang santet,” jawab Kismoyo perlahan-lahan sekalian tundukkan kepalanya.
Sang interogator memandangnya – tidak yakin. Ia terus memerhatikan si profesor yang sedang duduk di hadapannya itu, Prof. Dr. Ir. Kismoyo MSc., pakar fisika serta guru besar satu diantara perguruan tinggi negeri terkenal.
“Ini kami dapatkan di badan korban-korban Bapak,” tuturnya sekalian menunjukkan beberapa kumpulan benda diatas nampan. Nampan itu ditempatkan diatas meja di depan Kismoyo.
Dilihatnya isi nampan itu: beberapa kumpulan paku payung, paku beton, serta beberapa type paku yang lain, beberapa gulungan rambut, baut, silet, pecahan kaca serta beling.
“Itu bukan tindakan saya,” kata Kismoyo singkat. “Saya ini profesor, ilmuwan serta dosen, bukan tukang santet,” tuturnya . “Saya mendidik generasi muda bangsa ini, bukan menyakiti orang.”
Ke-2 orang itu terus menatapnya seakan-akan ingin cari kebohongan dibalik beberapa katanya itu.
“Saya malah mempelajari beberapa korban santet itu.”
Idsyam si interogator terlihat mulai tidak sabar.
Jangan Lewatkan :
Ia kelihatannya ingin terus menekan Kismoyo, tapi seseorang – yang berdiri di sebelahnya, menggelengkan kepalanya. Isyarat untuk Idsyam supaya tidak meneruskan usaha itu.
Idsyam dikit memundurkan tubuhnya sampai sentuh senderan kursi yang didudukinya. “Kami tidak mempersoalkan hal tersebut. Kami pun tidak perduli siapa sebagai korban Bapak,” kata Idsyam. “Maksudnya mereka yang sedang Bapak cermat.”
“Kami hanya ingin ini … “ ia keluarkan ponselnya dari kantong belakang celananya serta memperlihatkannya pada Kismoyo. “Orang ini.”
Di monitor hp itu ada photo satu orang.
“Ini, kami ingin Bapak membu … menyantet orang ini.”
Kismoyo lihat figur dalam photo itu. Ia kaget. Mereka telah edan!
Dia melihat ke-2 orang itu dengan bingung. Mengapa petinggi yang bersih, antikorupsi, dan bela kebutuhan rakyat … Mungkin orang yang memerintah mereka ini koruptor kelas kakap …
“Kalau memang santet itu sains, tentu saja gampang kan? Malah jika santet itu pengetahuan hitam, itu yang susah. Beliau ini didoakan juta-an rakyat, jadi tentunya setan akan kalah,” kata Idsyam. Tersenyum. “Kami telah coba memakai layanan dukun santet, tukang teluh, dan lain-lain. Hasilnya nihil.”
Kismoyo terlihat ragu-ragu.
“Kalian akan diketahui, bekas-bekas kehadiran saya di sini dapat dijelajahi oleh polisi.”
Herdiansyah – orang yang sejak dari barusan berdiri di samping Idsyam, mengatakan, “Tidak. Kami profesional. Prof dapat pergi dari sini dengan tenang sesudah semuanya usai. Semua jejak yang dapat ke arah pada Prof telah kami membersihkan.”
Itu penyebabnya mereka memakaikan sarung tangan karet pada ke-2 tanganku. Kismoyo menggerak-gerakkan tangannya.
Ia lihat ke bawah. Sepatunya juga dibungkus dengan kantong memiliki bahan kain untuk sepatu seperti yang dipakai beberapa pengunjung di laboratorium yang steril.
“Sehelai rambut juga tidak diketemukan. Bahkan juga serpihan sel kulit mati Anda pun kami membersihkan. Tidak bisa dideteksi meskipun memakai cara tes DNA yang paling hebat sekalinya.” Herdiansyah meneruskan.
“CCTV?” bertanya Kismoyo – pandangan matanya melawan, walau sebenarnya mengharap.
“Tentu saja tidak ada. Bos kami tidak mau ada efek sekecil apapun – yang dapat ke arah padanya.”
Sebaliknya. Kismoyo hampir tersenyum tapi ia dapat meredamnya.
“Santet itu sebetulnya sains, satu bentuk proses teleportasi yang masih primitif, yakni memakai media jadi penetapan object atau target – dan dengan memakai pertolongan “makhluk” lain. Cara tersebut sebetulnya seperti pemetaan tempat dengan satelit atau penguncian target dengan elektronik dengan radar pada pesawat tempur untuk setelah itu kirim rudal atau bom ke target itu. Teleportasi tak perlu memakai media-media itu. Cukup memikirkan tempat object dalam pemikiran dan lihat benda yang ingin dipindahkan, karena itu proses teleportasi bisa dikerjakan. Jadi kemampuan pemikiran kita juga dapat mengerjakannya.” Kismoyo menerangkan.
Herdiansyah tersenyum. “Kami sudah mengetahui, Prof. Anda sedang mempelajari tentang teleportasi. Dari info yang kami temukan, Prof bahkan juga bisa mengerjakannya.”
Kismoyo terdiam. Apa jaminannya mereka akan membebaskanku sesudah saya lakukan apa yang mereka meminta? Bila mereka membunuhku, tidak ada yang dapat tahu. Tidak ada bekas-bekas keberadaanku di sini.
“Lama sangat mikirnya,” Idsyam mulai tidak sabar. Ia melihat mengarah Herdiansyah. Yang ditatap menganggukkan kepalanya.
“Bapak mengenal orang ini?” Idsyam menggerakkan jarinya diatas monitor hp yang masih ada di depan Kismoyo. Lalu nampaklah penampilan video di monitor hp itu.
Chersey? Kismoyo bingung. Kok dapat … ? Terlihat Chersey, istrinya, sedang berjalan seseorang diri. Kelihatannya di satu diantara mal di Jakarta Selatan.
“Ini live lho, Pak. Diambil langsung lewat hp salah seseorang rekanan kami. Ia bekerja mengikuti istri Bapak.”
Kismoyo lihat panduan waktu yang tercantum di pojok kanan bawah monitor hp itu. Hari, tanggal, jam, semua klop tunjukkan sekarang ini.
“Kalau Bapak tidak ingin berlangsung apa-apa sama istri Bapak itu, lebih baik turuti saja tekad kami,” Idsyam terlihat makin tidak sabaran.
“Ini. Masukan ke lambung orang itu.” Idsyam menyodorkan suatu. Satu gelas berisi cairan di dalamnya. Sekilas saja Kismoyo sudah mengetahui cairan apa yang ada di gelas itu.
“Sianida?” bertanya Kismoyo.
Idsyam mengangguk. “Sekarang kan sedang jadi tren.”
“Kalian ingin saya lakukan santet … tujuannya teleportasi itu saat ini?” bertanya Kismoyo. Suara suaranya lebih terdengar seperti meneror daripada meminta.
“Tentu saja. Saat ini.” Idsyam tersenyum.
Herdiansyah menganggukkan kepalanya.
Kismoyo lalu tersenyum.
Tiba-tiba Idsyam terlihat terengah-engah. Dia terlihat cemas, seperti tergagap-gagap, ke-2 matanya melotot serta air terlihat keluar lewat lubang hidung serta mulutnya. Dia terlihat seperti orang yang sedang terbenam, meronta-ronta, menengadahkan mukanya ke atas.
“Huek! Huek!” Idsyam memuntahkan air dari mulutnya. Banyak. Seperti tidak habis-habis.
“Kau apakan ia?” bertanya Hediansyah memarahi. Dia keluarkan suatu dari balik jaketnya. Pistol.
Kismoyo mengusung dagunya, ke arah satu tempat.
Herdiansyah melihat mengarah yang dituju. Dispenser … galon … wadah tempat air minum itu terlihat menyusut … bukan, airnya habis benar-benar!
Dia paham, Kismoyo menyantet … menteleportasi, mengalihkan air itu ke pada tubuh partnernya yang saat ini sedang meregang nyawa.
Ia mengarahkan senjatanya mengarah Kismoyo. “Keluarkan kembali air itu dari badan Idsyam!” bentaknya. Waktu yang hampir bertepatan dengan teriakannya itu, Herdiansyah mendadak rasakan suatu di dadanya. Spontan dia memegangi dadanya itu. Ada perasaan aneh selintas …
Kismoyo masih memandang Herdiansyah yang saat ini telah turunkan senjatanya sesaat tangan kirinya terlihat memegangi dadanya. Dada samping kiri.
Kismoyo menunjuk ke meja di hadapannya.
Herdiansyah lihat benda yang dipilih Kismoyo itu. Ia kaget!
Jantung! Ada jantung yang masih berdegup diatas meja. Herdiansyah mengetahuinya. Suatu yang merasa aneh di dadanya itu sebab jantungnya tidak berada di tempatnya. Jantungnya sudah dikeluarkan dari rongga dadanya!
Dia mendelik seperti ingin membunuh Kismoyo tetapi dia tidak dapat mengerjakannya. Herdiansyah ambruk, jatuh terkapar serta wafat waktu itu juga. Sesaat jantungnya itu tidak berada di atas meja. Jantung itu telah dikembalikan ke rongga di dadanya.
Kismoyo melihat mayat ke-2 orang itu.
Baca Juga :
“Tidak ada bukti, tidak ada jejak, tidak ada rekaman CCTV … bagus deh.”
Perlahan bayangan tubuhnya mengabur serta lenyap dari tempat itu. Ia sudah berteleportasi ke lain tempat – ke satu diantara mal di Jakarta Selatan.